BIDIK KASUS - Korupsi telah menjadi salah satu permasalahan kronis di Indonesia, menggerogoti fondasi kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menghambat pembangunan nasional. Ketika data menunjukkan bahwa rata-rata terdapat dua koruptor di setiap kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota, ditambah 38 provinsi, serta sekitar 40 kementerian dan lembaga, maka jumlah koruptor potensial yang harus diberantas menjadi sangat signifikan. Jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) benar-benar bekerja efektif, setidaknya lebih dari 1.000 orang koruptor bisa ditangkap setiap tahunnya. Namun, jika angkanya berada di bawah 500 orang, kinerja KPK patut dipertanyakan.
Analisis Angka dan Potensi Kasus Korupsi
Dalam konteks distribusi kekuasaan, setiap kabupaten/kota memiliki banyak titik rawan korupsi, mulai dari anggaran daerah hingga pengelolaan proyek pembangunan. Dengan rata-rata dua koruptor per kabupaten/kota saja, kita sudah memiliki 1.028 potensi kasus hanya dari tingkat daerah. Angka ini belum mencakup korupsi di tingkat provinsi, kementerian, dan lembaga. Jika ditambahkan, totalnya bisa jauh melampaui angka 1.000 kasus per tahun. Logikanya, jika KPK bekerja secara optimal dengan sumber daya yang ada, maka jumlah koruptor yang ditangkap seharusnya mencerminkan skala korupsi yang terjadi.
Baca juga:
Aksi Pria Curi Celengan Masjid Terekam CCTV
|
Namun, faktanya, jumlah penangkapan koruptor sering kali jauh dari ekspektasi. Apakah ini karena korupsi benar-benar menurun, atau justru karena ada hambatan dalam kinerja KPK? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan data dan evaluasi yang mendalam.
Hambatan dalam Pemberantasan Korupsi
Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi alasan rendahnya jumlah penangkapan koruptor oleh KPK:
1. Keterbatasan Sumber Daya dan Kapasitas: Meski KPK dikenal sebagai lembaga independen yang fokus pada pemberantasan korupsi, jumlah sumber daya manusia dan anggaran yang tersedia sering kali menjadi kendala. Dalam menghadapi skala korupsi yang begitu masif, kemampuan investigasi KPK bisa saja terbatas.
2. Hambatan Politik dan Regulasi: Pemberantasan korupsi sering kali terhambat oleh tekanan politik. Beberapa kasus besar bahkan berujung pada pelemahan KPK, baik melalui revisi undang-undang maupun intervensi dalam pengangkatan pimpinan.
3. Korupsi yang Makin Terselubung: Para pelaku korupsi terus berinovasi dalam menyembunyikan jejak mereka. Dengan teknologi dan jaringan yang semakin canggih, investigasi menjadi lebih sulit dan memakan waktu.
4. Prioritas Kasus yang Tidak Merata: KPK cenderung memprioritaskan kasus-kasus besar yang melibatkan angka fantastis atau tokoh penting. Akibatnya, korupsi tingkat daerah sering kali terlewatkan atau tidak tersentuh.
Apakah Kinerja KPK Patut Dipertanyakan?
Jika angka penangkapan koruptor tidak mencapai 500 orang per tahun, pertanyaan tentang efektivitas KPK memang wajar muncul. Apakah hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah menurun drastis? Atau justru ini mencerminkan kelemahan dalam kinerja KPK?
Penting untuk memahami bahwa kinerja KPK tidak hanya diukur dari jumlah penangkapan, tetapi juga dari efek jera dan pencegahan yang berhasil diciptakan. Namun, angka yang rendah tetap menjadi indikasi bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Jika skala korupsi begitu besar tetapi hasil penegakan hukumnya tidak mencerminkan realitas tersebut, maka transparansi dan akuntabilitas KPK harus ditingkatkan.
Langkah ke Depan
Untuk memastikan pemberantasan korupsi berjalan lebih efektif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Penguatan Institusi KPK: KPK membutuhkan dukungan penuh dalam hal anggaran, sumber daya manusia, dan perlindungan hukum agar bisa bekerja tanpa tekanan politik.
2. Peningkatan Teknologi dan Kapasitas Investigasi: Dalam menghadapi korupsi yang semakin kompleks, KPK perlu memanfaatkan teknologi canggih untuk melacak aliran dana dan bukti korupsi.
3. Transparansi dan Akuntabilitas Kinerja: KPK perlu menunjukkan secara terbuka progres dan tantangan yang dihadapi, sehingga masyarakat bisa memahami realitas yang ada.
4. Sinergi dengan Penegak Hukum Lainnya: Pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan KPK sendirian. Dukungan dari kejaksaan, kepolisian, dan lembaga lain sangat diperlukan untuk menciptakan efek jera yang nyata.
Korupsi adalah musuh bersama yang harus diberantas hingga ke akar. Ketika potensi kasus korupsi begitu besar, tetapi penanganannya tidak sejalan dengan realitas tersebut, pertanyaan tentang efektivitas KPK adalah hal yang wajar. Namun, ini bukan hanya soal kinerja KPK, tetapi juga soal komitmen bersama untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Karena itu, alih-alih hanya mengkritik, kita juga perlu mendukung dan mendorong KPK untuk bekerja lebih baik dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Jakarta, 15 Desember 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi