TABANAN - Perjalanan sebuah Karma atau ikatan kehidupan lintas dimensi dialami oleh keluarga besar Puri Dangin Tabanan. Mengulang kisah perjalanan sejarah wafatnya Ratu Singasana Tabanan XXI yakni Ida Gusti Rai Perang saat peristiwa Puputan Badung (1906) dan cikal bakal perang Balikan Wongaya Tabanan yang dipimpin oleh Ida Sagung Ayu Wah Puri Dangin Tabanan.
Mendengarkan kisah penuturan I Gusti Ngurah Gede Nugraha yang berkeinginan sejarah leluhurnya tersusun secara benar agar menjadi pedoman dan kisah bagi generasi penerusnya sebagai warih/pratisentana/generasi penerus keluarga Puri Dangin Tabanan.
Perjalanan sejarah ini dimulai dari sejarah Ida Bhatari Sagung Ayu Wah yang diawali dari Perang Puputan Badung di Puri Denpasar pada tanggal 20 September 1906 yang meluluhlantahkan Kerajaan Badung beserta sanak keluarga di Puri Denpasar (Raja Badung).
Setelah Badung ditaklukkan, Belanda melanjutkan penyerangan ke Tabanan, pada tanggal 26 September 1906, Tentara Belanda dibawah pimpinan Mayor Jenderal Ros Van Tonningen tiba di Desa Beringkit, untuk bermaksud melakukan penyerangan ke Tabanan, yang saat itu dibawah kekuasaan Ratu Singasana Tabanan XXI, Ida I Gusti Ngurah Rai Perang, Abhiseka Ratu Ida I Gusti Ngurah Agung Tabanan ing Puri Dangin.
" Ida I Gusti Ngurah Rai Perang beliau telah mendengar kehancuran kerajaan Badung terjadilah gejolak, dengan perasaan yang berkecamuk, antara marah sedih yang bercampur menjadi sebuah pemikiran dan pertimbangan beliau, menyelamatkan Negara beserta Rakyat Tabanan dan janji setia beliau terhadap Raja Badung, " jelasnya, Minggu (29/01/2023).
"Jika Badung menang Tabanan menang namun jika Badung hancur Tabanan juga hancur”
Singkat perjalanan beliau Pada tanggal 27 September 1906 beliau menuju Desa Beringkit untuk berunding dengan Mayor Jenderal Ros Van Tonningen sosok panglima pasukan Belanda.
Baca juga:
IPSI Barru Gelar Seleksi Atlit Pra Porprov
|
" Namun perundingan itu tidak menemukan hasil yang baik bagi Raja Tabanan dan saat itu juga beliau harus ditawan di Denpasar. Pada Tanggal 28 September beliau muput diri di Denpasar dengan salah satu putra beliau, karena tidak sudi dijadikan tawanan oleh Belanda, " ceritanya.
Lanjutnya Pada Tanggal 29 September 1906 Jenasah beliau di preteka atau di aben di Denpasar serta putra-putra beliau yang masih hidup di asingkan ke pulau Lombok.
Dari perjalanan heroik Ratu Singasana Tabanan di Denpasar hingga dibuangnya putra-putra beliau ke pulau Lombok (kaselong ring sasak), maka dari sinilah cikal bakal terjadi Perang Balikan Wongaya Tabanan yang dipimpin oleh adik terkecil Raja Tabanan XXI, Ida Sagung Ayu Wah, yang pada saat peristiwa heroik yang menimpa kakak beliau sebagai Raja Tabanan beserta para keponakannya, beliau berada di rumah ibunya yang bernama Ni Gusti Ayu Alit di Jro Gede Sanghyang, Banjar Ambengan Taman Tabanan.
Atas peristiwa yang membuat perasaan seorang Sagung Ayu Wah menjadi sedih, marah, bergejolak, gundah gulana berkecamuk menjadi satu, dari sinilah timbul niat untuk membalas apa yang telah Belanda lakukan terhadap kakak beliau beserta keponakan beliau yang telah di buang di Pulau Lombok.
Atas inisiatif dari beberapa pendamping Ida Sagung Ayu Wah beliau mengungsi ke arah utara menuju alas Wong Aya, diiringi oleh para abdi (pengempu beliau dari kecil hingga remaja) yang bernama Pan Bina dengan dijemput pemuda dari Wongaya kurang lebih berjumlah dua orang.
Perjalanan beliau keluar dari rumah ibunya pada pagi hari melawati Pura Campuhan Desa Kedampal lalu ke utara menuju ke Puri Anyar Kerambitan. Saat sampai di Puri Anyar Kerambitan, Ida Sagung Ayu Wah memohon restu kepada paman beliau yang masih ada hubungan keluarga dengan Puri Tabanan, dari sanalah beliau diberi wejangan-wejangan serta dibekali perbekalan logistik berupa uang dan makanan.
Setelah dari Puri Anyar Kerambitan beliau melanjutkan perjalanan ke Desa Cangkup untuk mengajak abdi-abdi setia Puri untuk ikut serta, lalu perjalanan berlanjut menuju Desa Sangketan untuk mengajak seorang abdi Puri untuk ikut serta dalam perjalanan beliau.
Perjalanan dari Desa Sangketan langsung menuju Desa Wangaya dan sesampai disana diterima oleh pemuka desa yang bernama Pan Renteh. Sesampai di Desa Wangaya Ida Sagung Ayu Wah diterima sangat baik oleh masyarakat Wangaya, terutama dari keluarga besar Kebayan.
Adapun keluarga besar Kebayan yang menerima Ida Sagung Ayu Wah adalah, Mekel Pan Tembak, Pan Krenan, Mekel Made Bima, Mekel Pan Kantiah, Made Gede Pered, dan Pan Kandar, yang dari nama-nama ini merupakan abdi-abdi kepercayaan Raja Tabanan.
Ikatan dan kesetian yang sangat besar inilah yang menjadi modal besar bagi seorang Ida Sagung Ayu Wah untuk melanjutkan perjuangan beliau melawan Belanda. Dalam masa-masa bertempat tinggal di Desa Wangaya, Ida Sagung Ayu Wah menceritakan bagaimana dan apa yang telah di alami oleh Raja Tabanan beserta keponakan beliau, dan pada akhirnya keluarga besar Kebayan ikut larut dalam kesedihan serta merasakan apa yang yang telah dirasakan oleh Ratunya.
Timbulah kesepakatan dari abdi-abdi setia Raja Tabanan di Wangaya untuk berlatih ilmu perang, bersemadi hingga memilih orang-orang yang akan dijadikan Laskar Perjuangan untuk melawan Belanda. Konon tempat bela diri serta tempat semadi ini diberi nama “Karang Suwung” dan tempat pemandian Ida Sagung Ayu Wah bernama “Permandian Cokorde”.
Tepat pada tanggal 4 November 1906 yang berlokasi di sebelah barat Pura Watukaru, Ida Sagung Ayu Wah mengadakan sangkep agung bersama para Laskar Pejuang Wangaya, yang dalam orasinya beliau berkata:
“Hai ruange ajak mekejang, ane jani imata putih sube nyajah Purine di Tabanan, risedek Raja gelahe tusing ade di Puri, imata putih nyambehin gumi, nah jani sedeng melahe, buin pidan buin iraga mebela pati teken Raja gelahe, irage mule mesatya bani dadi caru gumi, dinane jani lan ajak mekejang magegebug ke Tabanan ngulahin imata putih”
Bunyi kulkul bulus pun bertalu-talu saat itu di wilayah Desa Wangaya. Tepat pada tanggal 5 November 1906 Laskar Ida Sagung Ayu Wah berjalan menuju Tuakilang dan ditempat inilah pertempuran Laskar Sagung Wah dengan Belanda terjadi, dan saat itu pula tercatat dalam Sejarah untuk pertama kalinya pertempuran hebat terjadi di tanah Tuakilang Tabanan.
Pertempuran di Tuakilang merenggut banyak nyawa dari Laskar Sagung Wah dan dari pihak Belanda diperkirakan mati sebanyak lima orang, karena dari persenjataan yang memang saat itu Laskar Ida Sagung Ayu Wah memakai senjata tradisional seperti Tobak, Keris dan Bambu Runcing, sedangkan dari pihak belanda memakai senjata api.
Adapun senjata tradisi yang dianggap mempunyai kekuatan magis saat itu dari Laskar Sagung Wah adalah panugrahan Ida Sesuhunan Watukaru yaitu, Keris Ki Gedebong Belus dan Keris Ki Tinjak Lesung, yang semua ini di anugrahkan kepada Ida Sagung Ayu Wah.
Setelah pertempuran yang tidak berimbang dan Laskar Sagung Wah dapat dipukul mundur oleh Belanda, ada beberapa Laskar Wangaya yang ditangkap dan di buang ke Dura Desa yaitu ke Aceh, Sawahlunto, Makasar dan Banyuwangi, sisanya dengan perasaan jengah dan sedih kembali ke Desa Wangaya dengan maksud menghimpun kekuatan kembali.
Namun sangat disayangkan keesokan harinya Belanda berhasil menggrebeg warga Wangaya bermaksud menangkap semua Laskar Sagung Wah termasuk Ida Sagung Ayu Wah.
Saat itu pula Ida Sagung Ayu Wah berhasil lolos dari sergapan Belanda dan melarikan diri bersama abdi beliau berjalan menyusuri jalan setapak hingga akhinya sampai di Puri Anyar Kerambitan Tabanan. Beberapa hari beliau menginap disana lalu melanjutkan perjalanan yang sangat rahasia menuju Banjar Ambengan tepat di Jro Gede Sanghyang dirumah ibu kandung beliau.
Dua hari lamanya Ida Sagung Ayu Wah menginap dirumah ibunya, maka datanglah utusan dari Belanda, dengan siasat licik Belanda, beliau diminta kembali ke Puri Singasana Tabanan.
Dengan perasaan yang mengambang beliaupun mengikuti perintah itu, namun hal yang tidak diduga terjadi, Ida Sagung Ayu Wah malah dicegat dan ditangkap di Desa Dauh Pala Tabanan tepatnya di Pura Manik Selaka, lalu di tawan dua hari di Tabanan berlanjut di tawan menuju Badung selama lima hari dan akhirnya mengalami nasib yang sama seperti keponakan-keponakan beliau di asingkan di Pulau Lombok.
Masa pembuangan Ida Sagung Ayu Wah di Tanah Lombok beserta beberapa abdi dan ibu kandung beliau, namun beberapa minggu kemudian beberapa abdi dan ibu kandung Sagung Wah diperintahkan oleh Belanda untuk pulang ke tanah Bali / ke Tabanan.
Sebenarnya ini merupakan siasat Belanda agar Ida Sagung Ayu Wah yang merupakan tokoh muda dengan umur yang masih beliau tidak mempunyai kekuatan lagi. Betapa sedihnya Ida Sagung Ayu Wah beserta Ibu dan para abdinya karena akan dipisahkan di tanah pengasingan.
Setiba Ni Gusti Ayu Alit (ibu kandung Sagung Wah) di Tabanan, betapa bertambah pilu hati dan sedih bercampur keharuan melihat kondisi istana Puri Agung Singasana yang hancur dan rata derngan tanah.
Kemudian beliau kembali ke Jro Gede Sang Hyang rumah tempat tinggal beliau dan sang ibu akhirnya meninggal (mur ring genah mula) Jro Gede Sanghyang.
Ida Sagung Ayu Wah dalam masa pengasingan di Pulau Lombok beliau sangat dijaga ketat oleh pihak Belanda, namun beliau sangat diterima baik oleh masyarakat sekitar.
Lokasinya kira-kira disekitar Taman Mayura Lombok dan Ida Sagung Ayu Wah sering bertukar pikiran dengan masyarkat sekitar tentang perjalan beliau di Tabanan, sehingga masyarakat sekitar sangat hormat dengan jiwa ksatria yang dimiliki oleh sosok perempuan yang masih berumur remaja. Saat itu pula tempat pengasingan Ida Sagung Ayu Wah diberi nama Banjar Ambengan dan disebelah lokasi itu diberi nama Banjar Tabanan Lombok.
Pada sekitar tahun 1918 kira-kira 12 tahun kemudian datang rombongan kecil dari Bali, yang dipimpin oleh Sagung Alit Mitir dengan saudaranya dari Pandak Badung dan dari Jro Gede Bongan, bermaksud bertemu Ida Sagung Ayu Wah namun pertemuan itu sangat dibatasi dan sangat diawasi oleh pihak Belanda.
Sebelum perpisahan dimulai, Sagung Alit Mitir berpesan kepada Ida Sagung Ayu Wah, agar tetap bertahan hidup disini, tetaplah berjuang dengan kehidupan ini, karena Ratu adalah tulang punggung di keluarga ibunya. Namun Ida Sagung Ayu Wah sudah bertekad dengan masa pembuangan ini beliau tidak akan
“Agarahasta Asrama”
dan akan tetap sendiri sampai Sang Hyang Ongkara melecut dari tubuhku, begitu tekad dan sumpah beliau. Pada masa-masa pembuangan dan hari demi hari yang dijalani oleh Ida Sagung Ayu Wah di Pulau Lombok, beliau akhirnya wafat di tanah Lombok.
I Gusti Ngurah Gede Nugraha saat akhir sambutannya kepada keluarga (Cucu) Mayor Jenderal Ros Van Tonningen menceritakan pertemuannya mereka.
" kami dipertemukan oleh Ivan Pushchaev dengan Cucu Mayor Jenderal Ros Van Tonningen yakni Zino Rost van Tonningen "
Ivanlah yang bercerita tentang invasi leluhurnya Zino di Badung dan Tabanan pada masa lalu.
" Semua tidak ada yang kebetulan, Zino pada awalnya mereka takut ketemu dengan kami, ditakutkan kami ada dendam padahal kami maunya damailah dengan keluarga besar puri "
Anehnya dirinya menceritakan bahwa ada memang keinginan untuk bertemu dengan keluarga dari Mayor Jenderal Ros Van Tonningen, "apakah dia punya perasaan yang galak, dugaan kami salah ternyata dia juga memiliki keinginan damai "
I Gusti Ngurah Gede Nugraha yang merupakan tokoh pariwisata juga menyebutkan bahwa story telling dengan sejarah seperti inilah akan menjadi daya tarik bagi masyarakat Tourism nantinya.
"Saya memperjuangkan hal ini, "pungkasnya.
Zino Rost van Tonningen bersama pacar asal Indonesianya dan Ivan Pushchaev bercengkrama ramah dan menikmati suguhan makan malam yang disediakan oleh I Gusti Ngurah Gede Nugraha dan keluarga.
" ya kita dulu mungkin memiliki sejarah kelam, tapi kini kita bisa duduk bersama. Saya sangat berterima kasih, " ujar Zino sebelum berpamitan pulang dalam bahasa inggris. (Ray)